2012. 10. 29.

"30th September Movement" The Movie: Tools for Propaganda or Reminiscing History?

Film“Pengkhianatan G30SPKI” : Perangkat Propaganda atau Mengenang Sejarah?

Jika ditanya apa film yang paling mengesankan sekaligus mengerikan, saya akan menjawab film ‘Pengkhianatan G30SPKI”. Film ini adalah film tahunan wajib tayang bagi masyarakat Indonesia, tidak terkecuali untuk saya, dan secara rutin diputar di stasiun televisi nasional setiap tanggal 30 September. Penayangan film ini dihentikan menjelang periode reformasi di tahun 1997. Karena materi cerita yang mengandung banyak adegan kekerasan yang cenderung sadis, ayah saya yang berstatus panglima angkatan udara, sampai akhir hidupnya tidak pernah mengijinkan saya untuk menonton film ini. Dan ketika akhirnya saya bisa mendapatkan kesempatan menonton film ini, ketimbang gembira saya malah merasa menyesal dan takut. Namun dibalik semua itu, film ini memberikan kesan tersendiri terutama dari sudut pandang sejarah.
If I were asked what would be my most unforgettable while simultaneously horrifying move, I would say the “30th September Movement of Indonesia Communist Party” movie. This movie was a must watch for Indonesian annually, including me, and played at national television every September 30th. This movie finally removed from regular airing during the reformation period in 1997. Due to the intense rough scenes which more often considered sadistic, my father who was worked in Indonesian Air Force, prohibited me from watching this movie until his death. And when I finally got my chance to watch, instead of feeling thrilled I ended up in regrets and terrified. Apart from those negative feelings, this movie actually shares unique impression especially from historical point of view.
Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia atau yang dikenal sebagai G30SPKI adalah percobaan kudeta yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) dan film “Pengkhianatan G30SPKI” secara garis besar menceritakan pergerakan (kudeta) PKI dengan mengambil latar tahun 1965. Di era tersebut, PKI menjadi partai ke-2 terbesar di Indonesia dan berambisi untuk menjadi yang terbesar. Untuk mencapai maksud ini, pimpinan PKI, D.N. Aidit yang saat itu diinformasikan dekat dengan President Soekarno berusaha untuk melakukan penetrasi di seluruh lapisan masyarakat dan mengusulkan ‘Angkatan Kelima’ yaitu para petani dan buruh yang dipersenjatai. Usul ini ditolak oleh Mentri/Panglima Angkatan Darat saat itu, Letnan Jendral Ahmad Yani.
The 30th September Movement (G30SPKI) was an attempt for coup d’état lead by Indonesian Communist Party (PKI) and this movie in general, illustrated how this movement was done using the background of 1965. During the that period, Communist Party actually was the 2nd largest politic party in Indonesia and ambitioned to be the biggest. In order to achieve this, the chairman, D.N. Aidit which during that period described of having close relationship with President Seokarno, tried to penetrate every layer of Indonesian society and suggested for the ‘5th Force’ which is the armed labors and farmers, as part of their strengthening strategy. This suggestion was rejected by Minister and Chief Commander of Indonesian Army, Lieutenant General Ahmad Yani.
Pada bulan Mei 1965, isu terkait ‘Dewan Jendral’ mengemuka dan disinyalir memiliki muatan politik. Isu ini terangkat dari sebuah dokumen yang kemudian dikenal sebagai dokumen Gilchrist terlebih lagi diduga kuat Dewan Jendral terkait erat dengan badan intelijen Amerika, CIA. Isu ini ditampik oleh Jendral Ahmad Yani, namun isu inilah yang kemudian dijadikan alibi PKI untuk menyerang para petinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang menentang mereka dan kemudian melakukan kudeta.
On May 1965, an issue of ‘The General Council’ surfaced and considered to have huge political intention. This issue was brought up from a document which later named as ‘Gilchrist document’ which strongly presumed that General Council has strong relationship with United States’ Intelligent Agency, CIA. This issue was strong denied by Lieutenant General Ahmad Yani while Communist Party was taking advantage from this issue and used it as alibi to attack Indonesia Army Force which previously had rejected them and then attempted for coup d’état.
PKI kemudian menjalankan misi penculikan terhadap 7 panglima ABRI di malam 30 September dan memakai alasan ‘panggilan rapat dengan Presiden’. Misi dipimpin oleh Letnan Kolonel Untung Soetopo, salah satu komandan Cakrabirawa, pasukan pengawal Presiden. Tiga jendral secara mengenaskan tewas di rumah mereka masing-masing setelah menolak untuk dibawa oleh Cakrabirawa, salah satunya adalah Jendral Ahmad Yani. Satu jendral lolos dari penculikan yaitu Jendral Abdul Haris Nasution namun malangnya putri sang jendral, Ade Irma Suryani, tewas karena tembakan brutal Cakrabirawa. PKI pun membawa ajudan sang jendral, Letnan Satu Pierre Andries Tendean sebagai ganti. Tiga jendral lainnya yaitu Letnan Jendral R. Suprapto, Letnan Jendral Suwondo Parman dan Brigadir Jendral Soetojo Siswomihardjo berhasil diculik untuk kemudian dieksekusi secara brutal dan dibuang ke dalam sumur tua yang kemudian dinamai Lubang Buaya.
Communist Party then runs its mission to kidnap 7 commanders on the night of September 30th, using the reason of ‘meeting call from President’. Mission was lead by Leutenant Colonel Untung Soetopo, one of commanders of Cakrabirawa, the Presidential Security Troop. Three generals were tragically killed at their own homes after refusing to be taken by Cakrabirawa, one of the three was Lieutenant General Ahmad Yani. Only one general successfully escaped, General Abdul Haris Naustion while sadly his daughter, Ade Irma Suryani, was killed from the brutal shots of Cakrabirawa. In exchange of the general, his assistant, First Lieutenant Pierre Andries Tendean was taken. The other three generals who successfully brought alive were brutally executed and later deposited in one old well which later known as Lubang Buaya.
Seluruh adegan mulai dari penculikan hingga penyiksaan para jendral digambarkan secara detail dan deskriptif, bahkan cenderung sadis. Setelah berhasil menculik para jendral, digambarkan para kader PKI bersukaria dan berpesta pora layaknya manusia yang hilang kesadaran. Keseluruhan alur cerita amat mencekam.
The whole scenes from kidnapping to the torturing was descriptively illustrated in details, to some extent sadistic, After successfully got these generals, the Communist Part cadres were depicted in an ultimate joy and seems to be out of sanity. The overall plot was thrilling.
Namun yang menjadi perdebatan hingga saat ini adalah peran dan kontribusi Soeharto, Presiden ke-2 Republik Indonesia yang saat itu menjabat sebagai Mayor Jendral dan Pimpinan Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (KOSTRAD). Dalam film Soeharto digambarkan sebagai sosok pahlawan yang berhasil menghentikan kudeta dan menjadi pelindung bagi Presiden Seokarno dan Jendral Nasution yang selamat. Hal ini diduga menjadi salah faktor penting yang menyokong jalan Soharto menjadi Presiden. Saat popularitas Soeharto menurun terutama akibat dampak sosial dari krisis finansial, penayangan film ini pun dihentikan di tahun 1997.
What become a strong debate to date is the role and contribution of Soeharto, the 2nd President of Indonesia. At that time, he was the Major General and Chief of the Strategic Commando for the Indonesia Army but was not picked up as target. In the movie, Soeharto was depicted as a hero who’ve been able to prevent the coup d’états and became the shield, protecting President Soekarno and threatened General Nasution. This has suspected to be critical factor supporting his way to presidency. When his popularity declined as an social after effect of Asian Financial Crisis in 1997, this movie stopped from being annually aired.
Ketujuh pahlawan yang menjadi korban kekejaman PKI ini dikenal sebagai 7 Pahlawan Revolusi dan 1 Oktober, diperingati sebagai hari kesaktian Pancasila. Hingga saat ini pun, komunisme dilarang di Indonesia. Selain dapat bentuk film, peristiwa bersejarah ini dapat dikenang lewat museum replika kayu yang dibangun tepat di lokasi dimana para Jendral ditemukan. Lokasi ini lebih dikenal sebagai Lubang Buaya dengan Monumen Pancasila Sakti. Museum lain yang juga terkait dengan momen sejarah ini adalah Museum Sasmitaloka Jendral Besar DR A.H. Nasution. Sebelum dijadikan museum, tempat ini adalah kediaman keluarga Jendral Nasution yang menjadi saksi bisu aksi PKI di malam 30 September.
The seven generals were later given the title of ‘Revolution Hero’ and October 1st is commemorated as ‘Hari Kesaktian Pancasila’. Even today, communism is forbidden in Indonesia. Besides movie, this historical moment can be reminisced through the wood replica museum which was built on the location where the general were founded. This location named ‘Lubang Buaya’ and ‘Monumen Pancasila Sakti’ Another museum can be used as reference is ‘Museum Sasmitaloka Jendral Besar Dr A.H. Nasution’. Before becoming museum, this place was the residence of General Nasution and silent evidence of what happened on the night of September 30th.
PS. This movie is actually available on Youtube for those who are interested but subtitle is not provided.

댓글 없음:

댓글 쓰기