Film“Pengkhianatan G30SPKI” : Perangkat Propaganda atau Mengenang Sejarah?
Jika ditanya apa film yang
paling mengesankan sekaligus mengerikan, saya akan menjawab film ‘Pengkhianatan
G30SPKI”. Film ini adalah film tahunan wajib tayang bagi masyarakat Indonesia,
tidak terkecuali untuk saya, dan secara rutin diputar di stasiun televisi nasional
setiap tanggal 30 September. Penayangan film ini dihentikan menjelang periode
reformasi di tahun 1997. Karena materi cerita yang mengandung banyak adegan
kekerasan yang cenderung sadis, ayah saya yang berstatus panglima angkatan
udara, sampai akhir hidupnya tidak pernah mengijinkan saya untuk menonton film
ini. Dan ketika akhirnya saya bisa mendapatkan kesempatan menonton film ini,
ketimbang gembira saya malah merasa menyesal dan takut. Namun dibalik semua
itu, film ini memberikan kesan tersendiri terutama dari sudut pandang sejarah.
If I were asked what would be
my most unforgettable while simultaneously horrifying move, I would say the “30th
September Movement of Indonesia Communist Party” movie. This movie was a must
watch for Indonesian annually, including me, and played at national television
every September 30th. This movie finally removed from regular airing
during the reformation period in 1997. Due to the intense rough scenes which
more often considered sadistic, my father who was worked in Indonesian Air
Force, prohibited me from watching this movie until his death. And when I
finally got my chance to watch, instead of feeling thrilled I ended up in
regrets and terrified. Apart from those negative feelings, this movie actually shares
unique impression especially from historical point of view.
Gerakan 30 September Partai
Komunis Indonesia atau yang dikenal sebagai G30SPKI adalah percobaan kudeta
yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) dan film “Pengkhianatan G30SPKI”
secara garis besar menceritakan pergerakan (kudeta) PKI dengan mengambil latar
tahun 1965. Di era tersebut, PKI menjadi partai ke-2 terbesar di Indonesia dan
berambisi untuk menjadi yang terbesar. Untuk mencapai maksud ini, pimpinan PKI,
D.N. Aidit yang saat itu diinformasikan dekat dengan President Soekarno
berusaha untuk melakukan penetrasi di seluruh lapisan masyarakat dan
mengusulkan ‘Angkatan Kelima’ yaitu para petani dan buruh yang dipersenjatai.
Usul ini ditolak oleh Mentri/Panglima Angkatan Darat saat itu, Letnan Jendral
Ahmad Yani.
The 30th September
Movement (G30SPKI) was an attempt for coup d’état lead by Indonesian Communist
Party (PKI) and this movie in general, illustrated how this movement was done
using the background of 1965. During the that period, Communist Party actually
was the 2nd largest politic party in Indonesia and ambitioned to be
the biggest. In order to achieve this, the chairman, D.N. Aidit which during
that period described of having close relationship with President Seokarno,
tried to penetrate every layer of Indonesian society and suggested for the ‘5th
Force’ which is the armed labors and farmers, as part of their strengthening strategy.
This suggestion was rejected by Minister and Chief Commander of Indonesian Army,
Lieutenant General Ahmad Yani.
Pada bulan Mei 1965, isu
terkait ‘Dewan Jendral’ mengemuka dan disinyalir memiliki muatan politik. Isu
ini terangkat dari sebuah dokumen yang kemudian dikenal sebagai dokumen Gilchrist
terlebih lagi diduga kuat Dewan Jendral terkait erat dengan badan intelijen
Amerika, CIA. Isu ini ditampik oleh Jendral Ahmad Yani, namun isu inilah yang
kemudian dijadikan alibi PKI untuk menyerang para petinggi Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia (ABRI) yang menentang mereka dan kemudian melakukan kudeta.
On May 1965, an issue of ‘The
General Council’ surfaced and considered to have huge political intention. This
issue was brought up from a document which later named as ‘Gilchrist document’
which strongly presumed that General Council has strong relationship with
United States’ Intelligent Agency, CIA. This issue was strong denied by
Lieutenant General Ahmad Yani while Communist Party was taking advantage from
this issue and used it as alibi to attack Indonesia Army Force which previously
had rejected them and then attempted for coup d’état.
PKI kemudian menjalankan misi
penculikan terhadap 7 panglima ABRI di malam 30 September dan memakai alasan ‘panggilan
rapat dengan Presiden’. Misi dipimpin oleh Letnan Kolonel Untung Soetopo, salah
satu komandan Cakrabirawa, pasukan pengawal Presiden. Tiga jendral secara
mengenaskan tewas di rumah mereka masing-masing setelah menolak untuk dibawa
oleh Cakrabirawa, salah satunya adalah Jendral Ahmad Yani. Satu jendral lolos
dari penculikan yaitu Jendral Abdul Haris Nasution namun malangnya putri sang
jendral, Ade Irma Suryani, tewas karena tembakan brutal Cakrabirawa. PKI pun
membawa ajudan sang jendral, Letnan Satu Pierre Andries Tendean sebagai ganti.
Tiga jendral lainnya yaitu Letnan Jendral R. Suprapto, Letnan Jendral Suwondo
Parman dan Brigadir Jendral Soetojo Siswomihardjo berhasil diculik untuk
kemudian dieksekusi secara brutal dan dibuang ke dalam sumur tua yang kemudian
dinamai Lubang Buaya.
Communist Party then runs its
mission to kidnap 7 commanders on the night of September 30th, using
the reason of ‘meeting call from President’. Mission was lead by Leutenant
Colonel Untung Soetopo, one of commanders of Cakrabirawa, the Presidential
Security Troop. Three generals were tragically killed at their own homes after
refusing to be taken by Cakrabirawa, one of the three was Lieutenant General Ahmad
Yani. Only one general successfully escaped, General Abdul Haris Naustion while
sadly his daughter, Ade Irma Suryani, was killed from the brutal shots of
Cakrabirawa. In exchange of the general, his assistant, First Lieutenant Pierre
Andries Tendean was taken. The other three generals who successfully brought
alive were brutally executed and later deposited in one old well which later
known as Lubang Buaya.
Seluruh adegan mulai dari
penculikan hingga penyiksaan para jendral digambarkan secara detail dan
deskriptif, bahkan cenderung sadis. Setelah berhasil menculik para jendral,
digambarkan para kader PKI bersukaria dan berpesta pora layaknya manusia yang
hilang kesadaran. Keseluruhan alur cerita amat mencekam.
The whole scenes from
kidnapping to the torturing was descriptively illustrated in details, to some
extent sadistic, After successfully got these generals, the Communist Part cadres
were depicted in an ultimate joy and seems to be out of sanity. The overall
plot was thrilling.
Namun yang menjadi perdebatan
hingga saat ini adalah peran dan kontribusi Soeharto, Presiden ke-2 Republik
Indonesia yang saat itu menjabat sebagai Mayor Jendral dan Pimpinan Komando Cadangan
Strategis Angkatan Darat (KOSTRAD). Dalam film Soeharto digambarkan sebagai
sosok pahlawan yang berhasil menghentikan kudeta dan menjadi pelindung bagi
Presiden Seokarno dan Jendral Nasution yang selamat. Hal ini diduga menjadi
salah faktor penting yang menyokong jalan Soharto menjadi Presiden. Saat
popularitas Soeharto menurun terutama akibat dampak sosial dari krisis finansial,
penayangan film ini pun dihentikan di tahun 1997.
What become a strong debate to
date is the role and contribution of Soeharto, the 2nd President of
Indonesia. At that time, he was the Major General and Chief of the Strategic
Commando for the Indonesia Army but was not picked up as target. In the movie,
Soeharto was depicted as a hero who’ve been able to prevent the coup d’états and
became the shield, protecting President Soekarno and threatened General
Nasution. This has suspected to be critical factor supporting his way to
presidency. When his popularity declined as an social after effect of Asian
Financial Crisis in 1997, this movie stopped from being annually aired.
Ketujuh pahlawan yang menjadi
korban kekejaman PKI ini dikenal sebagai 7 Pahlawan Revolusi dan 1 Oktober,
diperingati sebagai hari kesaktian Pancasila. Hingga saat ini pun, komunisme
dilarang di Indonesia. Selain dapat bentuk film, peristiwa bersejarah ini dapat
dikenang lewat museum replika kayu yang dibangun tepat di lokasi dimana para
Jendral ditemukan. Lokasi ini lebih dikenal sebagai Lubang Buaya dengan Monumen
Pancasila Sakti. Museum lain yang juga terkait dengan momen sejarah ini adalah
Museum Sasmitaloka Jendral Besar DR A.H. Nasution. Sebelum dijadikan museum,
tempat ini adalah kediaman keluarga Jendral Nasution yang menjadi saksi bisu aksi
PKI di malam 30 September.
The seven generals were later
given the title of ‘Revolution Hero’ and October 1st is commemorated
as ‘Hari Kesaktian Pancasila’. Even today, communism is forbidden in Indonesia.
Besides movie, this historical moment can be reminisced through the wood
replica museum which was built on the location where the general were founded.
This location named ‘Lubang Buaya’ and ‘Monumen Pancasila Sakti’ Another museum
can be used as reference is ‘Museum Sasmitaloka Jendral Besar Dr A.H. Nasution’.
Before becoming museum, this place was the residence of General Nasution and
silent evidence of what happened on the night of September 30th.
PS. This movie is actually
available on Youtube for those who are interested but subtitle is not provided.
댓글 없음:
댓글 쓰기